Teringat dengan dawuhnya (ucapan) guru saya, yaitu "Al-I'timadu 'Ala an-Nafsi Asasun Najah". ialah bahwa berpegang teguh pada diri sendiri adalah asas dari kesuksesan. kesuksesan berawal dari pribadi masing-masing, dan itu pun juga membutuhkan proses yang begitu panjang. rintangan, halangan, ujian, dan cobaan akan menghadang setiap langkah manusia. terkadang sulit manusia untuk meraih kesuksesan, bahkan mereka selalu mengatakan gagal, gagal, dan gagal. dan jangan sampai putus asa ketika belum bisa meraih kesuksesan tersebut. ada suatu pepatah mengatakan "kegagalan merupakan suatu keberhasilan yang tertunda". Pernyataan tersebut memang benar, namun yang terpenting dari itu adalah percaya diri dan yakin bahwa segala sesuatu yang kita lakukan akan membuahkan hasil yang maksimal. Dan tidak kalah pentingnya yaitu menumbuhkan sifat istiqomah pada dirinya. karena dengan istiqomah maka Allah akan menunjukkan jalan baginya.
Rabu, 21 September 2011
Jumat, 24 Desember 2010
Konsep Pendidikan Menurut Imam Ghazali
Al-Ghazali
mempunyai pandangan berbeda dengan kebanyakan ahli filsafat pendidikan islam
mengenai tujuan pendidikan. Beliau menekankan tugas pendidikan adalah mengarah
pada reaksi tujuan dari keagamaan akhlak, di mana fadhilah (keutamaan) dan
taqarrub kepada Allah merupakan tujuan yang paling penting dalam pendidikan.
Sesuai dengan penegasan beliau: “Manakala seorang anak menjaga anaknya dari
siksaan dunia, hendaknya ia menjaganya dari siksaan api neraka/akhirat, dengan
cara mendidik dan melatihnya serta mengajarnya dengan keutamaan akhirat, karena
akhlak yang baik merupakan sifat Rasulullah SAW. (sayyidul mursalin) dan
sebaik-baik amal perbuatan orang yang jujur, terpercaya, dan merupakan
realisasi daripada buahnya ketekunan orang yang dekat kepada Allah.”
Selanjutnya
beliau mengatakan: “Wajiblah bagi seorang guru mengarahkan murid kepada tujuan
mempelajari ilmu, yaitu taqarrub kepada Allah bukannya mengarah kepada pimpinan
dan kemegahan.”[1]
Pemikirannya
tentang tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan kepada tiga: (1) Tujuan
mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri
sebagai wujud ibadah kepada Allah, (2) Tujuan pendidikan Islam adalah
pembentukan akhlaq al-karimah, (3) Tujuan pendidikan Islam
mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan
ketiga tujuan ini diharapkan pendidikan yang diprogramkan akan mampu
mengantarkan peserta didik pada kedekatan diri kepada Allah.[2]
Menurutnya
pendidik adalah orang yang berusha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan,
dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliqnya.[3]
Tugas ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia merupakan makhluk mulia.
Kesempurnaan manusia terletak pada kesucian hatinya. Untuk itu, pendidik dalam
perspektif Islam melaksanakan proses pendidikan hendaknkya diarahkan pada aspek
tazkiyah an-nafs.
Seorang
pendidik dituntut memiliki beberapa sifat keutamaan yang menjadi
kepribadiannya. Di antara sifat-sifat tersebut adalah:
1. Sabar dalam menangggapi
pertanyaan murid.
2. Senantiasa bersifat kasih,
tanpa pilih kasih (objektif).
3. Duduk dengan sopan, tidak
riya’ atau pamer.
4. Tidak takabbur, kecuali
terhadap orang-orang yang dzalim dengan maksud mencegah tindakannya.
5. Bersikap tawadhu’ dalam
setiap pertemuan ilmiah.
6. Sikap dan pembicaraan
hendaknya tertuju pada topik persoalan.
7. Memiliki sifat bersahabat
terhadap semua murid-muridnya.
8. Menyantuni dan tidak
membentak orang-orang bodoh.
9. Membimbing dan mendidik
murid yang bodoh dengan cara yang sebaik-baiknya.
10. Berani berkata tidak tahu
terhadap masalah yang anda persoalkan.
11. Menampilkan hujjah yang
benar. Apabila ia berada dalam kondisi yang salah, ia bersedia merujuk kembali
kepada rujukan yang benar.
Dalam
kaitannya dengan peserta didik, lebih lanjut al-Ghazali menjelaskan bahwa
mereka adalah makhluk yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk beriman
kepada Allah SWT. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah SWT sesuai dengan
kejadian manusia, cocok dengan tabi’at dasarnya yang memang cenderung kepada
agama tauhid (Islam). Untuk itu tugas seorang pendidik adalah membimbing dan
mengarahkan fitrah tersebut agar ia tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan
penciptaan-Nya.
Menurut
al-Ghazali dalam menuntut ilmu, peserta didik memiliki tugas dan kewajiban,
yaitu: (1) mendahulukan kesucian jiwa; (2) bersedia merantau untuk mencar ilmu
pengetahuan; (3) jangan menyombongkan ilmunya dn menentang guru; (4) mengetahui
kedudukan ilmu pengetahuan.[4]
Dalam
belajar, peserta didik hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Belajar dengan niat ibadah
dalam rangka taqarrub ila Allah, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta
didik senantiasa mensucikan jiwanya dengan akhlaq
al-karimah.
2. Mengurangi kecenderungan
pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi. Sebagaimana dalam firman Allah SWT:
äotÅzEzs9ur ×öy{ y7©9 z`ÏB 4n<rW{$# ÇÍÈ
Artinya: "Dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada
yang sekarang (permulaan)." (QS.Adh Dhuha: 4)
3. Bersikap tawadhu' (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pendidikan.
4. Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
5. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun duniawi.
6. Belajar dengan bertahap dengan memulai pelajaran yang mudah (konkret)
menuju pelajaran yang sukar atau dari ilmu fardlu 'ain menuju ilmu fardlu
kifayah.
7. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu lainnya,
sehingga anak didik memiliki spesifikasi illmu pengetahuan secara mendalam.
8. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
9. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan yaitu yang
dapat bermanfaat, membahagiakan, mensejahterakan, serta memberi keselamatan
hidup dunia akhirat.
B. Sasaran
Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali telah menulis beberapa buah karya tentang
persoalan pendidikan dan pembinaan mental. Tetapi pendapatnya yang terpenting
termuat di dalam kitab "Fatihat al-'Ulum", kitab "Ayyuhal
Walad" dan "Ihya' 'Ulumuddin". Dalam kitab Ihya' 'Ulumuddin,
al-Ghazali sesungguhnya telah meletakkan kerangka aturan pendidikan yang
sempurna dan menyaluruh dan terinci dengan jelas. Hal ini tidaklah aneh, karena
pendidikan itu konklusi logis dan filsafat.
Ada dua alat pokok yang digunakan untuk mencapai setiap
sasaran program pendidikan: Pertama, aspek pengetahuan yang harus dikuasai oleh
pelajar atau dengan kata lain, kurikulum pelajaran atau materi kurikulum untuk
pelajar sehingga materi pelajarannya dapat dikuasai secara penuh dan benar,
dapat dimanfaatkan. Dengan demikian, seorang pelajar akan dapat sampai tujuan pendidikan
dan pengajaran yang diharapkan.
Dari studi terhadap pendapat al-Ghazali mengenai
pengajaran dan pembinaan mental itu ada dua, yaitu: (1) kesempurnaan insani
yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah dan (2) kesempurnaan insani
yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan pendapat al-Ghazali
tentang pendidikan pada umumnya sejalan dengan trend-trend pendidikan islam,
yaitu trend-trend agama dan etika. Maka sasaran pendidikan menurut al-Ghazali
adalah kesempurnaan insani di dunia dan di akhirat. Dan manusia akan sampai
kepada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan melalui
jalur ilmu dan amal.[5]
Dengan demikian, maka modal kebahagiaan di dunia dan di
akhirat itu, tak lain adalah ilmu. Kalau demikian, maka ilmu adalah amal yang
terutama.
C. Kurikulum
Pelajaran Menurut Al-Ghazali
Mengenai kurikulum pelajaran, Al-Ghazali telah menyusun kurikulum yang dia atur berdasarkan arti
penting yang dimiliki oleh masing-masing ilmu seperti berikut ini:
1. Urutan pertama; Al-Qur'an
al-Karim, ilmu-ilmu agama seperti Fiqih, Sunnah dan Tafsir.
2. Urutan kedua; Ilmu-ilmu
bahasa (bahasa Arab), ilmu Nahwu serta artikulasi huruf dan lafadz. Ilmu-ilmu
ini melayani ilmu-ilmu agama.
3. Urutan ketiga; Ilmu-ilmu
yang termasuk kategori wajib kifayah, yaitu ilmu kedokteran, ilmu hitung dan
berbagai keahlian, termasuk ilmu politik.
4. Urutan keempat; Ilmu-ilmu
budaya, seperti syair, sastra, sejarah serta sebagian cabang filsafat, seperti
matematika, logika, sebagian ilmu kedoketran yang tidak membicarakan persoalan
metafisika, ilmu politik dan etika.
Al-Ghazali juga menekankan sisi-sisi budaya, ia jelaskan
kenikmatan ilmu dan kelezatannya. Ia tekankan bahwa ilmu itu wajib dituntut
bukan karena keuntungan di luar hakikatnya, tetapi karena hakikatnya sendiri.
Sebaliknya al-Ghazali tidak mementingkan ilmu-ilmu yang berbau seni dan keindahan,
sesuai dengan sifat pribadinya yang dikuasai tasawuf dan zuhud.
Dalam kurikulum al-Ghazali ini tampaklah jelas dua
kecenderungan:
1)
Kecenderungan
agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat al-Ghazali menempatkan
ilmu-ilmu agama di atas segalanya, dan memandangnya sebagai alat mensucikan
diri dan membersihknnya dari karat-karat dunia.
2) Kecenderungan pragmatis. Kecenderungan
ini tampak jelas di dalam karya-karyanya. Al-Ghazali beberapa kali mengulangi
penilaiannya terhadap ilmu berdasarkan manfaatnya bagi manusia, baik untuk
kehidupan di dunia maupun di akhirat. Hal ini terbukti dari ucapannya sendiri
bahwa;
"Seluruh
manusia itu akan binasa kecuali yang berilmu, dan seluruh orang yang berilmu
itu akan binasa kecuali orang yang beramal dan seluruh orang yang beramal itu
juga akan binasa kecuali orang yang ikhlas."
[1] Ali
Al-Jumbulati, dkk. Perbandingan
Pendidikan Islam. PT. Rineka Cipta: Jakarta. 2002. hlm. 134
[2] Dr. H.
Samsul Nizar, M.A. Filsafat Pendidkan
Islam. Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Ciputat Pers. Bandung. 2002. hlm. 87
[3] Ibid.,
hlm. 88
[4] Ibid,
hlm. 89
[5] Fathiyah
Hasan Sulaiman. Aliran-aliran Dalam
Pendidikan. Studi tentang Aliran Pendidikan Menurut Al- Ghazali. Dina Utama
Semarang. Semarang. Cet.1. 1993. hlm. 19
Muqoddimah
Pendidikan Islam telah berlangsung kurang lebih 14 abad, yakni sejak Nabi Muhammad SAW diutus sebagai Rasul. Pada awalnya pendidikan berlangsung secara sederhana, denagan masjid sebagai proses pembelajaran, Al-Qur’an dan Hadits sebagai kurikulum utama dan Rasulullah sendiri berperan sebagai guru dalam proses pendidikan tersebut. Setelah Rasulullah SAW wafat Islam terus berkembang ke luar jazirah arab. Sejalan dengan itu pendidikan islam terus berkembang. Kurikulum Pendidikan, misalnya, yang sebelumnya terbatas pada Al-Qur’an dan Hadits berkembang dengan masuknya ilmu-ilmu baru yang bersal dari luar Jazirah Arab yang telah mengalami kontrak dengan islam baik dalam bentuk peperangan maupun dalam bentuk hubungan damai.
Sejarah menunjukkan bahwa perkembangan kependidikan pada masa klasik Islam telah membawa Islam sebagai pengembangan keilmuan dari keilmuan klasik ke keilmuan modern. Akan tetapi generasi umat islam seterusnya tidak mewarisi semangat ilmiah yang dimiliki para pendahulunya. Akibatnya prestasi yang telah diraiih berpindah tangan ke Barat, karena ternyata mereka mau mempelajari dan meniru tradisi keilmuan yang dimiliki oleh umat Islam masa klasik dan mampu mengembangkannya lebih lanjut.
Seiring dengan berkembangnya zaman, maka muncullah pemikiran-pemikiran baru tentang pendidikan yang akan mengarahkan pada kemajuan pendidikan. Pemikiran-pemikiran baru tersebut merupakan hasil atau produk dari tokoh-tokoh pemikir pendidikan, baik Islam maupun Barat.
Selasa, 06 April 2010
Sekilas Tentang Pendidikan Islam
oleh: Nailul Author
Kita mengenal bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang didirikan dan diselenggarakan dengan mengimplementasikan, mengejawantahkan nilai-nilai Islam. Nilai-nilai Islam mengandung 4 unsur pokok, diantaranya:
1. Unsur jasmaniyah (jiwa)
2. Unsur ruhaniyah (spiritualitas)
3. Unsur Aqliyah (intelektualitas)
4. Unsur Khuluqiyah (akhlak)
Ke-empat unsur tersebut sangatlah urgen dalam kehidupan manusia, terutama yang berkaitan dengan pendidikan. Karena setiap insan pasti membutuhkan akan adanya pendidikan. Akan tetapi yang perlu ditekankan di sini adalah unsur ruhaniyah (spiritualitas), yang berkenaan dengan masalah tauhid.
Jika kita menengok sejarah pada zaman Nabi Muhammad SAW, bahwa yang pertama kali diajarkan beliau adalah tauhid (meng-Esa-kan Allah). Sejak zaman Nabi Adam AS pun telah diajarkan tauhid sampai Khatimul Anbiya'.
Kita mengenal bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang didirikan dan diselenggarakan dengan mengimplementasikan, mengejawantahkan nilai-nilai Islam. Nilai-nilai Islam mengandung 4 unsur pokok, diantaranya:
1. Unsur jasmaniyah (jiwa)
2. Unsur ruhaniyah (spiritualitas)
3. Unsur Aqliyah (intelektualitas)
4. Unsur Khuluqiyah (akhlak)
Ke-empat unsur tersebut sangatlah urgen dalam kehidupan manusia, terutama yang berkaitan dengan pendidikan. Karena setiap insan pasti membutuhkan akan adanya pendidikan. Akan tetapi yang perlu ditekankan di sini adalah unsur ruhaniyah (spiritualitas), yang berkenaan dengan masalah tauhid.
Jika kita menengok sejarah pada zaman Nabi Muhammad SAW, bahwa yang pertama kali diajarkan beliau adalah tauhid (meng-Esa-kan Allah). Sejak zaman Nabi Adam AS pun telah diajarkan tauhid sampai Khatimul Anbiya'.
Langganan:
Postingan (Atom)